Di
Negara tetangga, Malaysia, sunat wanita menjadi kewajiban yang harus di jalani.
Seorang wanita bernama Syahiera Atika, gadis Malaysia berusia 19 tahun mengaku,
menjalani sunat sebagai salah bentuk ibadah dari keyakinannya, sebagaimana
perempuan Malaysia lainnya.
“Saya
tidak berpikir apa yang kita lakukan diharamkan. Ini melindungi perempuan muda
dari seks sebelum nikah karena sunat dapat menurunkan keinginan seks. Tapi saya
juga tidak yakin ini bekerja demikian,” katanya, seperti dikutip dalam Okezone.com, Senin (23/2).
Pertanyaan
yang muncul adalah: Apakah Sunat Wanita
Sama dengan Mutilasi Kelamin Perempuan?

Sunat
wanita melibatkan operasi untuk membuang sebagian atau seluruh klitoris
perempuan, sehingga wanita tidak memiliki nafsu birahi. Oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO), praktek ini diklasifikasikan sebagai Mutilasi Kelamin Wanita (Female Genital Mutilation - FGM).
Dr.
Maznah Dahlui, profesor asosiasi dari University
of Malaya's Department of Social and Preventive Medicine, melakukan studi pada
2012 menemukan 93% perempuan muslim Malaysia telah disunat. Maznah juga
menemukan bahwa praktek ini bahkan telah meningkat di klinik-klinik swasta
Malaysia.
Menurut
Maznah, versi sunat wanita di Malaysia tidak lebih invasif daripada sejumlah
praktek lain di seluruh dunia. Ia mengatakan, itu melibatkan tusukan jarum ke
klitoris dan dilakukan pada gadis berusia antara 1-6 tahun. Namun, prosedur
yang lebih invasif juga masih dilakukan secara luas.
Dr
Mighilia, seorang dokter kandungan dan ginekolog dari klinik swasta Global
Ikhwan yang terletak di Rawang, utara Kuala Lumpur mengaku, ia melakukan versi
yang lebih drastis dengan jarum atau gunting.
Praktek
mutilasi kelamin tidak dilarang di Malaysia, meskipun rumah sakit negeri
dicegah untuk mempraktekkan operasi tersebut. Pada 2009, Komite Fatwa Malaysia's National Council of Islamic Religious Affairs (FGM
) mengatur bahwa sunat bagi anak perempuan adalah wajib, sekalipun itu
hanya lebih berdasar pada masalah budaya. FGM menjadi lebih diterima sosial
pada 2012, saat Kementerian Kesehatan mengumumkan pengembangan pedoman untuk
mereklasifikasi prosedur tersebut, sebagai prosedur medis. Namun, sebagian
pihak menganggap ini adalah suatu bentuk penyesatan.
Abdul
Rashid Khan, seorang profesor di Penang Medical College mengatakan, bukan
berarti "medikalisasi" mutilasi alat kelamin perempuan adalah unik
untuk Malaysia. Praktek ini diidentifikasi sebagai tren baru yang
“mengganggu" oleh UNFPA, UNICEF, International Confederation of Midwives,
dan International Federation of Gynaecology and Obstetrics. Tetapi beberapa
orang Malaysia percaya bahwa, organisasi-organisasi internasional tersebut
tidak seharusnya menyinggung pilihan hidup masyarakat Malaysia.
Dr
Ariza Mohamed, seorang dokter kandungan dan ginekolog di Rumah Sakit KPJ Ampang
Puteri Specialist di Kuala Lumpur, juga membela praktek ini dengan menghakimi
ke negara-negara lain. "Kami sangat menentang apa yang sedang terjadi di
negara-negara lain, seperti Sudan. Kondisi mereka sangat berbeda dari apa yang
kita praktekan di Malaysia. Dan ada perbedaan besar antara sunat dan mutilasi
alat kelamin perempuan," katanya, seperti dikutip dalam Okezone.com, Senin (23/2).
0 komentar:
Post a Comment