Dalam hal membungakan uang, menurut Manava Dharmasastra Adiyaya VIII Sloka 141-142 menjelahkan bahwa:
"Dengan mengingat kewajiban yang baik (Swadharma), seorang dapat menerima dua dalam seratus (2%) bunga dari uang yang dipinjamkannya, karena mereka yang mengambil hanya dua perseratus tidak akan berdosa akibat perolehannya itu. Hanya dalam dua perseratus, ataupun tiga, empat, atau lima perseratus maksimal, ia boleh menerima bunga setiap bulannya."
Pertama Tingkat suku bunga < 2%/bulan disampaikan dalam Manawa Dharmasastra VIII. 141. ”Dengan mengingat kewajiban orang baik, ia boleh menerima dua dalam seratus, karena mereka yang mengambil hanya dua dalam seratus tidak berdosa karena perolehan itu”.
Dalam Arthasastra XI.1 dijelaskan ”Satu seperempat pana adalah suku bunga sebulan menurut hukum bagi seratus pana, lima pana bagi perdagangan, sepuluh pana bagi yang melewati hutan, dua puluh pana untuk melalui lautan”. Informan pertama juga menjelaskan bahwa “jika seseorang meminjamkan uang dengan bunga lebih dari 1%, maka tiada kewajiban bagi yang meminjam uang untuk mengembalikannya”. Serta Informan kedua memaparkan “orang boleh membungakan uang dengan ketentuan, bunganya hanya 2 persen maximal 5 persen perbulan”.
Risiko yang dihadapi dalam proses simpan pinjam juga menjadi dasar besaran tingkat suku bunga. Hal ini disampaikan dalam Manawa Dharmasastra VIII.142. “Bunga uang hanya boleh dikenakan dua persen dan paling banyak lima persen kepada peminjam yang telah menghasilkan (vrdhi grhiyad) keuntungan atas usahanya. Bunga yang dikenakan sesuai dengan golongan usahanya”.
“Dalam lontar pada jaman kerajaan Bali dan Lombok yang isinya bersumber dari kitab Manawa Dharmasastra, Kutaragama serta ajaran Bhagawan Brghu yang pernah diterapkan di Majapahit, ada termuat bahwa orang boleh membungakan uang dengan ketentuan, bunganya hanya 2 persen maximal 5 persen perbulan, harus ada surat hutang piutang yang disebut surat pawitan dan harus ada saksi. Surat tersebut harus dibuat dihadapan peminjam, dan pada saat peminjam melunasi, surat tersebut harus dihanguskan dihadapan peminjam”.
Sesuai dengan uraian dan penjelasan-penjelasan dari tema yang terbentuk, maka terlihat ada dua tema yang dapat membentuk proposisi pada konsep pembiayaan dalam ajaran Hindu. Tema pertama menjelaskan bahwa tingkat bunga yang diperkenankan dalam pembiayaan adalah d” 2% dalam sebulan, dan kedua tingkat suku bunga yang diterapkan menunjukkan dan penentu risiko yang dihadapi dalam peminjaman dana. Proposisi yang terbentuk adalah “ Konsep pembiayaan dalam ajaran Hindu sebaiknya memberikan pinjaman kepada debitur tidak melebihi 2% dengan catatan adanya agunan yang sesuai dan apabila tidak menggunakan agunan maka diperkenankan menerapkan suku bunga sampai 5% berdasarkan golongannya “.
- Riba dalam konsep Agama Hindu adalah selama pembiayaan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran dharma, ketika pembiayaan tersebut ada unsur adharma maka tergolong riba. Selain itu diperkenankan pembiayaan sampai dengan 5% ketika debitur yang meminjam dana tidak memiliki agunan, dan jika lebih dari 5% maka pembiayaan tersebut termasuk dalam kategori riba.
- Konsep pembiayaan pada ajaran Hindu intinya membahas tentang tingkat suku bunga yang diperbolehkan adalah paling tinggi sebesar 2%, namun tatkala debitur tidak memiliki agunan maka diperbolehkan memberikan bunga lebih tinggi dari 2% sampai dengan batas tertinggi 5%. Semakin besar risiko yang dihadapi perusahaan pembiayaan maka semakin tinggi penerapan tingkat bunga yang diberlakukan.
0 komentar:
Post a Comment