Asal Usul Sejarah Danau Toba di Sumatra


Asal Usul danau toba dimulai pada zaman dahulu, di sebuah desa di pulau propinsi Sumatera Utara, hiduplah seorang petani. Ia sangat bersahaja, seharusnya ia sudah waktunya menikah, namun ia seperti takut dengan wanita. Saat itu, musim paceklik tiba.

“Aku benar-benar heran dengan si Mogan itu, pak. Dia itu ada musim paceklik, tetap tenang-tenang saja, anakku!”

“Ibu, tidak menlihat bahwa dia itu hidup sendirian. Dia masih enak, tidak ada tanggung jawab. Sedangkan kita, anak banyak, penghasilan kurang, lain kan?”

“Benar. Tapi Mogan itu memang aneh, umurnya sudah lebih dari cukup untuk kawin, anehnya dengan perempuan saja, takut.”

“Karena lebih baik dia hidup sendirian, daripada direpoti bini, anak. Apalagi penghasilan cukup, kau lihat sendiri, bu. Padi di gudangnya masih berkarung-karung dan panennya pun selalu melimpah.”

“Ya, karena dia itu rajin, pak.”

“Memang, bu. Kita akui Mogan itu rajin, teguh dan ulet, ya? Pokoknya akan menjadi contoh atau taladan.”

“Tapi kapan kawinnya, pak? Kapan?”

“Kalau ketemu jodoh pasti cepat kawin dia.”

“Lihat perempuan, saja lari.”

“Kalau sudah saatnya, pastilah dapat saja itu.”

“Permisi.”

“Siapa itu, pak?”

“Permisi.”

“Ah, cepatlah kau bukakan pintu itu.”

“Benar-benar panjang umur, pak! Baru diomong kalau kau ini takut perempuan, tapi hidupnya enak.”

“Hidup-hidup kan saling memandang, bu! Coba ku pandang bapak ibu! Juga enak hidupnya.”

“Iya, tapi paceklik macam ini, aku benar-benar tidak berkutik, Gan? Lutung padiku telah kosong, bisa-bisa tinggal makan ubi kayu aku ini!”

“Ah, aku kira makan ubi kayu pun tak apa-apalah, pak, yang penting kan makan?”

“Iya, memanglah, tapi pada musim paceklik seperti sekarang ini, kita bisa usaha apa saja yang mudah mendatangkan hasil.”

“Kau usaha apa, Gan?”

“Ya, kita bisa manfaatkan apa yang ada terdapat di sekitar kita ini. Ingat, Tuhan kan memberes semua kemurahan!”

“Tapi kalau aku tidak maulah makan dedaunan begitu saja, betapa pun lauknya ikan mahal.”

“Itu berarti, pacekliknya dibuat sendiri, padahal apa yang kita makan dari apa yang terdapat di sekitar kita, merupakan sumber makanan sehat.”

“Benar, Gan, dan sekarang ini kau membawa pancing lalu memancing di mana itu?”

“Ya, di kolam ikanlah, bu! Maksudku kolam di sungai desa ini. Nah, kalau dapat ikan, kan bisa untuk menyambung hidup.”

Si Mogan seorang petani sedernaha itu segera menuju sebuah kolam di sungai yang diperkirakan banyak ikannyam id segera melemparkan kailnya, tidak lama kemudian kail langsung disambar seekor ikan cukup besar.

“Bah, untung besar aku, dalam sekejap saja pancinganku sudah disambar seekor ikan cukup besar, bisa untuk lauk dua hari ini. Nah, ini tandannya kalau orang itu rajin dan mau berusaha tidak seperti bapak ibu yang pintar ngomong itu. Kadang-kadang aku panas mendengar ngomongannya, bilang bahwa aku takut perempuan segala, benci kali aku. Hm, setelah kuamati dengan seksama ikan ini lain dari yang lain pula, warna sisiknya ini cantik kali kulihat. Ah, aku menjadi sayang dengan ikan ini, tapi apa boleh buat, ikan yang kutangkap ini akan segera kubakar untuk lauk makan.”

“Hei, tunggu dulu!”

“Suara siapa itu, tak ada orang tiba-tiba kudengar suara manusia!”

“Tunggu kanda, aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Aku jangan kamu bakar, aku ingin hidup bersamamu.”

“Suara merdu dan indah, sepertinya suara wanita itu. Jangan-jangan seekor ikan ini.”

“Benar katamu kanda, dan aku akan segera berubah wajud menjadi seorang manusia. Lepaskanlah aku.”

Ikan itu menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita, tinggi semampai, kulit kuning langsat, halus bagai sutera, hidung mancung dan bibirnya amat indah menakjubkan.

“Aku tidak mau berhadapan dengan seorang wanita, aku takut, takut!”

“Jangan takut, kanda. Aku ingin mendampingi hidupmu.”

“Macam mana pula ini?”

“Jangan kuatir aku tidak akan menyusahkanmu justru akan sangat berterimakasih kepadamu, karena kau telah memebaskan aku dari sebuah penderitaan telah lama kualami. Nah, kini saatnya aku membayar hutang budi yang telah kanda lakuakan. Coba, kalau aku ditangkap oleh manusia yang serakah, pasti aku langsung disantap.”

“Iya, tapi…. Apakah benar kau manusia, bukan jin atau setan?”

“Percayalah, aku benar-benar seorang manusia, ayo jamahlah tanganku.”

“En, tanganmu betul-betul mulus, mulus sekali, baru satu kali ini aku memegang tangan seorang wanita.”

“Sudahlah gandenglah aku, rangkullah dan peluklah aku.”

“Jangan, kau kan belum jadi milikku.”

“Aku telah menyerahkan diri seutuhnya kepadamu. Ayo, percayalah kanda, dan sekali lagi ini semua untuk membayar hutang budi.”

“Rasa-rasanya aku belum pernah meminjam budi kepadamu.”

“Kau telah menyelamatkanku, itulah hutang budiku.”

“Ah, lalu apa maksudmu yang sebenarnya?”

“Begini, aku sebenarnya seorang dewi yang telah dikutuk kerena melanggar sebuah larangan, aku berubah wujud menjadi seekor ikan. Nah, setelah menjadi seekor ikan aku harus disentuh oleh tangan manusia dan kebetulan yang menyentuh adalah kanda yang bersahaja ini.”

“Oh, begitu, lalu?”

“Dari rasa syukur itulah, aku mau mengikuti apa keinginanmu.”

Hati petani yang bernama Mogan itu benar-benar tersentuh sampai lubuh yang terdalam. Namum karena memang ia menjadi orang yang sangat bersahaja, maka permitaannya pun tidak muluk-muluk. Disaat itu pulalah ia sangat terpikat dan terpesona akan kecantikan gadis itu, hatinya luluh dan panah asmaranya menghujam kecantikan gadis itu yang akhirnya disebut Putri.

“Ah, aku… Apa benar Putri ersedia menjadi istriku?”

“Itu tidak perlu kautanyakan lagi, aku bersedia dan jangan lupa kita harus bersepakat.”

“Ah, maksudnya macam mana ini?”

“Kita harus sepakat jangan mengatakan sesuatu, tentang diriku, bahwa diriku seorang jelmaan ikan.”

“Iya, tentu, rahasia itu harus kita jaga berdua.”

“Baik.”

“Dan aku akan berjanji sungguh-sungguh kerahasiaan kita berdua ini.”

“Bagus, dan sekarang untuk apalagi kita berlama-lama di sini? Lebih baik kita cepat pulang ke rumahmu.”

“Alamak, ternyata si Mogan petani yang sederhana itu sekarang sudah menggandeng seorang gadis cantik, pak. Kecantikannya tidak ada yang mengalahkannya. Darimana tiba-tiba dia mendapatkan durian runtuh seorang gadis cantik itu?”

“Seharusnya akulah yang ngomong begitu, bu. Malah kau ini, macam mana ini?”

“Aku khawatir kalau bapak terpikat akan kecantikan gadis yang digandeng si Mogan itu.”

“Kalau aku belum punya, pastilah dia akan jatuh di tanganku itu, bu.”

“Ah, bapak menjadi besar kepala.”

“Memang begitu kenyataan itu, sebenarnya aku pun telah melihat orangnya, gadis itu bagaikan bidadari yang turun dari langit. Dan ternyata banyak pemuda yang mendambakannya pula. Tapi itulah jadi, dia lebih cinta akan Mogan si penakut wanita itu.”

Setelah menjadi suami istri, Mogan seorang petani dan Putri tampak semakin bahagia. Mereka semakin menjaga rahasia yang telah disepakati bersama.

“Istriku, aku sebetulnya sangat kasihan sekali sama kau.”

“Memangnya kenapa?”

“Setelah kau menjadi istriku, ternyata tinggal di gubuk reyot begini, makanan pun sedangnya, pakaian pun ala kadarnya, ah! Kalau kau mau sebenarnya kau pasti mampu mendapatkan seorang suami yang gagah, tampan, lagi kaya.”

“Ah, itu tidak perlu kau katakana, kanda. Kebahagiaan itu bukan dirasakan bukan karena kita mempunyai pakaian, rumah yang bagus, makanan yang enak, tapi dapat kita nikmati kalau hati kita tenang, tentram dan damai. Di sinilah aku dapat menemukan kedamaian dan cinta yang tulus, bertanggung jawab dan setia.”

“Aku betul-betul merasakan keikhlasan suatu pengorbanan yang besar darimu, dinda.”

“Kita harus dapat menciptakan pengorbanan dari hati ke hati kanda, jadi bukan sepihak. Maksudku dari pengorbananmu juga pengorbananku.”

“Indah sekali bicaramu.”

“Tapi yang perlu kita ingat jangan sampai kita melanggar janji yang telah kita ucapkan, yaitu membuka rahasia kita berdua.”

“Ah, tidak, tidak mungkin itu. Aku tetap berpegang teguh pada janji itu. Jangan khawatir dinda.”

“Dinda yakin akan ucapanmu itu, kanda. Perlu dinda ingatkan sebab kalau janji itu dilanggar, akibatnya tidak ada ampun lagi. Kebahagiaan kita akan berakhir, malapetaka dahsyat akan terjadi, bukan hanya menimpa kita berdua saja, tapi seluruh desa ini.”

“Ah, aku pun tidak ingin kebahagiaan kita ini berakhir dengan sangat mengerikan itu, dinda.”

Dalam benak si petani muncullah janji yang telah di diikrarkan, janji bahwa ia tidak akan mengatakan istrinya itu penjalmaan dari seekor ikan, pokoknya tidak akan menynggung asal mula istrinya. Hati berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, akhirnya mereka mempunyai anak laki-laki dan dierinama Putra. Putra tumbuh menjadi anak yang mempunyai pergaulan yang sangat luas. Saat ini ia sudah menginjak remaja tetapi agak nakal. baca selanjutnya Sejarah Danau Toba dibawah ini.

“Ah, anak kita itu mempunyai teman banyak kali, dinda. Sehingga aku sangat khawatir kalau dia sulit diarahkan.”

“Kanda, kenapa harus khawatir? Semakin besar dia kan semakin dapat menjaga diri?”

“Itu memang betul, tetapi si Putra itu lain dari yang lain.”

“Maksud kanda?”

“Nah, sekarang ini sudah ia mulai membantah perintahku.”

“Kalau itu kan sudah biasa. Dia sedang menginjak masa remaja, jadi timbul perasaan yang merasa lebih dari yang lain, iya kan?”

“Aku ini kan ayahnya, seharusnya dia tahu siapa yang menyuruh malah membantah segala, itu kan tidak betul?”

“Ya sudah kita lihat saja perkembangannya nanti, siapa tahu semakin bertambah umur semakin bertamah dewasa?”

“Nah, itu yang kita inginkan.”

“Hanya saja sekarang ini makannya semakin banyak ya? Apa saja yang disediakan langsung disantap habis sehingga sebentar-sebentat memasak nasi dan sayur.”

“Ah, soal makanan itu tidak perlu itu, tidak usah dimasalahkanlah. Yang penting tingkah lakunya harus baik, sopan santunnya harus dipakai. Kalau membantah orang tua itu kan tidak baik itu.”

“Iya, nanti akan aku arahkan, siapa tahu omonganku lebih dapat didengar.”

“Nah, makannya kau jangan kau diam saja, anak itu tidak boleh dimaja.”

“Jangan marah begitu, kanda. Nanti omongannya keterusan.”

“Kau jangan takut, aku bisa menjaga diri, aku tidak akan menyinggung asal usulmu.”

“Iya, tapi bisa timbul kalau kanda lupa atau khilaf.”

“Aku akan berusaha tidak lupa atau tidak khilaf, dan buktinya sampai tetik ini janji itu tidak kulanggar, kan?”

“Kuharap begitu, kanda. Karena aku sangat takut kalau kebahagiaan kita ini tiba-tiba berakhir.”

“Mak, sekarang ini kita tertinggal jauh dengan Mogan petani sederhana itu, sawahnya luas, ternaknya banyak.”

“Itu memang kita akui pak, setelah dia kawin dengan bidadari itu dan mempunyai anak, tia-tiba kekayaannya melejit, jangan-jangan istrinya yang cantik itu anak jin.”

“Ah, bukan anak jin tapi dia memelihara setan atau tuyul itu.”

“Tapi kalau tidak ada bukti kita tidak boleh menuduh, pak.”

“Selama ini apakah kita pernah menudah orang memelihara jin atau tuyul.”

“Ah, sudahlah. Kita tidak usah bicara itu, kita bicara anak kita sendiri. Coba pak amati dengan baik-baik, setelah anak kita akrab bergaul dengan Putra, anak Mogan itu, sekarang ini bertambah nakal, disuruh membantu orang tua selalu membantah.”

“Ya, memanglah, mak, persis seperti Putra itu. Makanya Mogan mempunyai anak laki-laki satu-satunya bernama Putra, itu sekarang bingung, persis seperti kita juga bingung. Kita sih punya tiga anak, kan? Nah, kalau satu anak tidak rurut kan masih ada dua.”

“Memang, kuperhatikan anak Mogan itu tidak tertarik dengan dunia pertanian, padahal bapaknya petani.”

“Betul.”

“Ia lebih senang bermain-main, menghabiskan waktu bersama teman-temannya.”

“Jangan-jangan anak kita juga begitu.”

“Anak kita masih bisa diarahkan pak.

“Lama-lama aku jadi marah pula sama dia, dinda. Setelah melihat perlakuan anak kita itu.”

“Sabarlah, kanda.”

“Ah, sabar itu kan ada batasnya.”

“Iya, aku tahu. Kalau sudah dewasa pasti akan tahu akan kewajibannya.”

“Aku memang harus sabar, bersabar terus. Karena walau bagaimanapun Putra itu anak kita, anak satu-satunya, istilahnya semata wayanglah.”

“Iya, itulah yang dinda maksud, syukurlah kalau kanda punya pendirian begitu. Kanda kan adalah suamiku, yang paling baik.”

“Kau pun istriku yang paling baik, paling setia.”

“Dan Putra anak kita adalah anak yang paling baik juga.”

“Nah, mudah-mudahan begitulah.”

“Pasti kanda tidak akan memarahinya.”

“Ah, tentu saja tidak.”

Putra semakin bertambah besar dan sekarang ini telah menjadi anak remaja menganjak dewasa, tetapi setiap hari pekerjaannya hanya bermain-main. Pada suatu hari ia diberi tugas mengantar makanan ayahnya yang sedang bekerja di sawah, tetapi ia pun tidak melaksanakannya dengan baik.

“Ah, perut lapar keroncongan, haus tak tertahankan. Tetapi kenapa kiriman makanan dan minuman belum ada. Seharusnya si Putri istriku itu yang harus mengantarnya. Kenapa sampai terlambat begini, ya? Ah, lihat-lihat tidak ada tanda-tanda makanan dan minuman diantar kemari. Ah, kalau begitu lebih baik aku pulang saja ke rumah.”

“Apakah kau betul-betul lupa dinda? Untuk mengantar makanan ke sawah?”

“Ah? Si Putra yang mengantar, kanda. Dinda kira kanda sudah makan.”

“Makan angin?”

“Maksud dinda makanan dan minuman itu sudah diantar oleh Putra, malah sayurnya. Dinda masakkan sayur kasayangan kanda.”

“Ah, tapi aku sampai menahan perut lapar begini muncul juga si Putra itu.”

“Tapi sekali lagi jangan kau marahi ya, kanda.”

“Iya, kalau dipikir memang tidak perlu marah kepada anak itu, tetapi rasanya aku sudah tidak tahan lagi meluapkan kemarahanku! Coba dinda, sekarang ini banyak orang selalu membicarakan tingkah laku anak kita itu. Nah, bahkan banyak kali yang mengatakan karena anaknya bergaul dengan Putra kita itu sekarang ini menjadi nakal dan tak terkendali. Nah, mendengar itu aku kan malu.”

“Tapi jangan marah kanda, apalagi melontarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Aku khawatir kanda akan meluncurkan kata-kata yang kurang enak itu tidak pada tempatnya dan itu akan merugikan kebahagiaan kita.”

“Ah, mudah-mudahan aku dapat mengendalikan diri dinda, dan aku akan segera mencari Putra anak kita itu.”

“Bah, ternyata dia ada di lanpangan bola ini, awas kau berani lari ke mana kau, rasakan pukulanku nanti. Hei, Putra! Putra, sini kau!”

“Ah, bapak memanggil aku?”

“Peka kau, ya?”

“Ah, tidak.”

“Tolol kau!”

“Tidak.”

“Sudah berapa kali bapak selalu menyuruh menbantu bekerja di sawah, tetapi ternyata kau belum sekalipun ikut ke sawah, dan kerjamu malah main-main tidak ada gunangnya. Berangkat pagi pulang sore.”

“Ah, bekerja di sawah itu kan pekerjaan orang tua? Dan aku tidak mau berlepotan Lumpur sawah.”

“Banyak kali alas an kau pula, benar-benar anak tidak tahu diuntung kau ini.”

“Aku memang ingin bebas, bapak.”

“Hei, lalu tadi siang kau disuruh mengantar makanan dan minuan ke sawah, tahu-tahunya kau tak nampak batang hidung kau! Ayo, ke mana kau?”

“Aku bermain-main di lapangan dan bekal yang seharusnya untuk bapak di sawah itu aku makan habislah.”

“Hebat kau! Jadi kau memang betul-betul anak kurang ajar, ya? Anak tak tahu diuntung! Anak tolol! Dasar anak ikan!”

“Jangan-jangan ucap kata-kata itu, kanda. Jangan, jangan!”

“Istriku tiba-tiba menghampiriku, aku telah melanggar janjiku, aku sangat menyesal. Apa yang akan terjadi ini?”

“Ternyata kau tidak setia dengan janjimu, kanda. Apa boleh buat kita harus berpisah . Sekarang bersiap-siaplah untuk menerima malapetaka yang maha dahsyat itu kanda.”

“Jangan, jangan terjadi. Aku masih mencintaimu dinda, mencintai Putra, aku tidak mau berpisah denganmu dinda.”

Tiba-tiba datanglah sinar kemerah-merahan menaungi Putri dan Putra, dan dalam sekejap Putri dan Putra lenyap dengan gaib tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya tiba-tiba menyembullah air bah yang sangar deras dan semakin deras.

“Putri istriku! Putra anakku! Di mana kau? Di mana kamu? Aku ini pelan-pelan ditelan air. Tolong, tolong…..”

Desa tempat tinggal si petani bernama Mogan itu pun lenyap ditelan air bah. Demikian desa-desa di sekitarnya, air meluap tinggi dan luas membentuk telaga yang tetap membesar, akhirnya terwujudlah sebuah danau. Danau yang sangat indah dengan sebuah pulau kecil berada di telaga-telaganya. Danau itu dikenal dengan nama danau Toba, sedangkan pulau kecil itu diberi nama Pulau Samosir.

Demikianlah Asal Usul Sejarah Danau Toba di Sumatra, Terima kasih sudah mampir ke blog saya.

Posted by Wasiwa
Wasiwa Updated at: January 06, 2015